Sering kali kita melihat penjual jamu gendong yang sedang menjajakan dagangannya. Penjual jamu gendong pada umumnya adalah perempuan, meskipun ada juga yang laki-laki. Pernah juga kita melihat penjual jamu adalah seorang gadis muda berparas cantik.
Lalu, bagaimana jika seorang laki-laki ingin mengetahui apakah si penjual masih single atau sudah berpasangan? Pada jaman dahulu, ini ada kodenya dilihat dari jumlah botol yang dibawa. Menurut cerita seorang penjual jamu, status dari seorang penjual jamu dapat dilihat dari umlah botolnya yang dibawa dalam gendongan. Ini dia kodenya:
Lalu, bagaimana jika seorang laki-laki ingin mengetahui apakah si penjual masih single atau sudah berpasangan? Pada jaman dahulu, ini ada kodenya dilihat dari jumlah botol yang dibawa. Menurut cerita seorang penjual jamu, status dari seorang penjual jamu dapat dilihat dari umlah botolnya yang dibawa dalam gendongan. Ini dia kodenya:
Gadis : Jumlah botol ganjil / 5 atau 7
Janda : Jumlah botolnya 9
Bersuami : Jumlah botolnya 8
Tetapi jaman sekarang, jumlah botol tersebut sering diabaikan oleh penjual jamu sehingga tidak bisa selalu dijadikan patokan, meski ada beberapa yang masih mengikutinya.
Janda : Jumlah botolnya 9
Bersuami : Jumlah botolnya 8
Tetapi jaman sekarang, jumlah botol tersebut sering diabaikan oleh penjual jamu sehingga tidak bisa selalu dijadikan patokan, meski ada beberapa yang masih mengikutinya.
Quote:Ya ane sih percaya gak percaya gan soal kode ini... Tapi kalau gak percaya bisa ditanyakan langsung kok....
"Desa Pusat Pedagang Jamu Gendong"
Quote: Originally Posted by a5tut1
SEPINTAS Dusun Kiringan tak beda dengan dusun sekitarnya yang ada di kawasan Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta. Sebuah kawasan pedesaan yang kental dengan nuansa pertanian. Hamparan sawah yang nyaris mengepung areal dusun ini menjadi penyangga utama perekonomian mereka.
Namun, jika ditelisik lebih jauh ada yang unik di sini yang tak dimiliki dusun lainnya. Keunikan yang kasat mata, dusun ini sejak lama menjadi pusat jamu gendong. Sedangkan keunikan yang tak kasat mata adalah pola hidup, atau lebih populernya disebut gaya hidup, warga dusun ini yang lebih berorientasi alam.
Pembuatan jamu tradisional di dusun ini sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Secara turun-temurun, “ilmu” jamu itu terwariskan secara alami, tanpa dorongan yang bersifat formal. “Saya sendiri tak ingat sejak kapan warga di sini membuat jamu. Seingat saya, sejak saya kecil di sini sudah ada jamu,” kata Ny. Sudiyatmi (50), yang sudah 21 tahun menjabat sebagai Kepala Dusun Kiringan.
Ada sekitar 115 kepala keluarga (KK), khususnya para ibu-ibu, yang saat ini menggeluti pembuatan jamu. Penduduk Dusun Kiringan sendiri saat ini berjumlah sekitar 250-an kepala keluarga. Selain membuat, mereka juga mengonsumsi sendiri. Bahkan, hampir semua para ibu-ibu di dusun ini mampu meracik jamu sendiri.
Ada puluhan jenis jamu yang mereka buat, antara lain beras kencur, uyup-uyup, kunir asem, dan cabe puyang. Bahan-bahan pembuatan jamu semuanya herbal, di antaranya ada kencur, jahe, sunti, empon-empon, kunyit, temu ireng, dan temu lawak. Bahan-bahan tersebut selain mereka budidayakan sendiri, ada juga yang dibeli dari pasar
Aktivitas membuat jamu diawali pada pagi hari setelah subuh. Pagi sekitar pukul 08.00 mereka mulai memasarkan ke luar dusun dari pintu ke pintu. Pulang ke rumah kadang hingga petang. “Kalau belum habis, ya, belum pulang. Soalnya jamu kan kalau tersisa harus dibuang,” kata Ponijah (46), yang wilayah pasarnya di kawasan Desa Sumbermulyo, sekitar 6 kilometer dari rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar