Penjual Mainan Era Kolonial
Masa anak-anak memang merupakan masa bermain. Masa dimana aktivitas mereka dihabiskan untuk mengenal dan mencoba sesuatu yang baru. Dan tentunya sesuatu yang menarik pula menurut mereka.
Permainan mereka tidak hanya yang berkaitan dengan permainan yang berhubungan dengan sosialisasi tetapi juga yang bersifat pribadi. Untuk yang bersifat pribadi maka untuk masa sekarang maka kita akan melihat begitu banyak bentuk dan ragam mainan bagi anak-anak. Masyarakat yang menjual berbagai pernak-pernik mainan pun berlimpah apalagi di tempat-tempat wisata, dari mainan mobil-mobilan, boneka, balon, bola dan beranekaragam lainnya baik yang terbuat dari kayu, plastik maupun logam tersedia.
Penjual Mainan Anak di Jawa 1910 (Koleksi: www.kitlv.nl)
Penjual mainan anak tersebut terkadang juga berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan dagangannya kepada anak-anak. Biasanya mereka menggunakan pikulan dari bambu untuk menaruh mainan-mainan tersebut. Anak-anak yang tertarik biasanya akan merengek-rengek kepada orangtuanya, meminta untuk dibelikan walaupun terkadang orangtua tidak menyanggupinya. Penjual mainan anak juga sering mempermainkan emosi anak yang orang tuanya enggan membelikan mainan dengan cukup lama berhenti di depan rumah mereka. bagi orangtua terkadang hal ini menjengkelkan tetapi itulah jiwa dagang penjual mainan ini, dengan cara ini maka dengan terpaksa orang tua akan membelikan mainan untuk anaknya. Maka rejeki pun di dapat…
Penjual mainan anak yang berkeliling dari kampung ke kampung rupanya telah ada sejak jaman kolonial dahulu. Peralatan dan cara berjualannya hingga saat ini masih terlihat di kampung-kampung. Bila kita perhatikan mainan yang dijajakan dalam foto di atas yang diterbitkan oleh KITLV dapat kita lihat beragam mainan dari bola berwarna-warni, boneka, berbagai mainan yang digantung dengan tali seperti burung-burungan, mainan bunyi-bunyian dan lain sebagainya. Terlihat juga di belakang penjual mainan tersebut anak-anak mengikuti untuk melihat mainan yang dijual.
Rupanya kita tidak menduga bahwa pada masa lalu telah ada penjual mainan anak seperti yang terlihat pada saat ini, berkeliling kampung ke kampung dengan pikulan, menarik hati anak-anak yang melihatnya. Dan terkadang membuat orangtua menjadi sedikit jengkel…..:)
Penjual mainan anak yang berkeliling dari kampung ke kampung rupanya telah ada sejak jaman kolonial dahulu. Peralatan dan cara berjualannya hingga saat ini masih terlihat di kampung-kampung. Bila kita perhatikan mainan yang dijajakan dalam foto di atas yang diterbitkan oleh KITLV dapat kita lihat beragam mainan dari bola berwarna-warni, boneka, berbagai mainan yang digantung dengan tali seperti burung-burungan, mainan bunyi-bunyian dan lain sebagainya. Terlihat juga di belakang penjual mainan tersebut anak-anak mengikuti untuk melihat mainan yang dijual.
Rupanya kita tidak menduga bahwa pada masa lalu telah ada penjual mainan anak seperti yang terlihat pada saat ini, berkeliling kampung ke kampung dengan pikulan, menarik hati anak-anak yang melihatnya. Dan terkadang membuat orangtua menjadi sedikit jengkel…..:)
Penjual Mainan Era Kolonial
Menu Ekstrim Indomie Pedes Mampus
Buat yang doyan sama makanan pedas, monggo cobain Warung Indomie Abang Adek.
Warungnya sederhana banget, lokasinya di Jalan Mandala Utara Tomang.
Patokan gampangnya setelah Roxy Square, ada gang belok kiri masuk, trus pertigaan belok kanan dan mentok ajah ? Naaah ? letaknya pas di jalanan tusuk sate.
Tempatnya bole dikata rame banget cukup buat 50 orang kalo lagi peak. Cocok buat yang nyari makan sambil nyari jodoh wahaha.
Menu yang santer dan agak bikin bulu kuduk merinding adalah:
1. Indomie Pedes Garuk – 25 bijik cabek rawit ulek
2. Indomie Pedes Gilak – 50 bijik cabek rawit ulek
3. Indomie Pedes Mampus – 100 bijik cabek rawit ulek
Oh yah, Kalo mau ditambah topping, always tersedia telor mata sapi goreng juga ada kornet gorengnya.
Minuman favoritnya juz buah. But I am gonna suggest cobain Lemon Squashnya manteb banget deh, seger asli banget! hehe
Warung yang dimotori oleh pak Tono sejak 1995 ini buka setiap hari nonstop dari jam 4 sore sampai jam 3 pagi. Cuman, kalo hari Sabtu kadang cuman sampe jam 2 ajah kalo lagi rame.
Selain murah dan juga meriaah, di mana lagi bisa makan indomie seunik ini?
You should try 'm up!
Warungnya sederhana banget, lokasinya di Jalan Mandala Utara Tomang.
Patokan gampangnya setelah Roxy Square, ada gang belok kiri masuk, trus pertigaan belok kanan dan mentok ajah ? Naaah ? letaknya pas di jalanan tusuk sate.
Tempatnya bole dikata rame banget cukup buat 50 orang kalo lagi peak. Cocok buat yang nyari makan sambil nyari jodoh wahaha.
Menu yang santer dan agak bikin bulu kuduk merinding adalah:
1. Indomie Pedes Garuk – 25 bijik cabek rawit ulek
2. Indomie Pedes Gilak – 50 bijik cabek rawit ulek
3. Indomie Pedes Mampus – 100 bijik cabek rawit ulek
Oh yah, Kalo mau ditambah topping, always tersedia telor mata sapi goreng juga ada kornet gorengnya.
Minuman favoritnya juz buah. But I am gonna suggest cobain Lemon Squashnya manteb banget deh, seger asli banget! hehe
Warung yang dimotori oleh pak Tono sejak 1995 ini buka setiap hari nonstop dari jam 4 sore sampai jam 3 pagi. Cuman, kalo hari Sabtu kadang cuman sampe jam 2 ajah kalo lagi rame.
Selain murah dan juga meriaah, di mana lagi bisa makan indomie seunik ini?
You should try 'm up!
charlie@balimetamorph.com
Menu Ekstrim Indomie Pedes Mampus
Suara Azan Bercampur Ave Maria
MARYAM. MARY. MARIA. Atau Siti Maryam, bangsa Arab menyapanya. Siti adalah awalan nama untuk menghormati dan menyayangi. Orang Maroko menyebutnya Sidi. Kita mengejanya Siti.
Maryam atau Maria atau Mary adalah orang yang sama. Dia adalah seorang perempuan mulia. Paling mulia. Umat kristen memujanya dengan penuh penghormatan. Umat islam menghormati dengan penuh kesucian.
Maryam atau Maria adalah tokoh yang menyatukan dua agama besar dunia. Kristen dan Islam bisa bersatu bila menyebut nama Maria. Mereka sepaham, sepercaya, sependapat tentang Maria. Tanpa ada perbedaan dan perselisihan pada pernik perbedaan.
Banyak umat Kristen tak mengetahui betapa kaum muslim mensucikan Maria.
Banyak umat Islam tak sadar mereka menghormati sosok Maria. Dari tiga agama sama atau agama Ibrahim, hanya Yahudi yang mencelanya. Mereka menganggap Maria penuh cela bagai perempuan zinah.
Ajaran Islam menghormati Maria untuk nama sebuah surat dalam kitab sucinya.
Dari 114 surat dalam Quran, ada Surat Yunus (Jonah), Yusuf (Joseph), Hud (Hud)
Ada Surat Ibrahim (Abraham), Luqman, Rum (Romawi) dan Surat Muhammad
Tapi ada satu-satunya surat dengan nama wanita dalam Quran, Surat Maryam.
Maryam atau Maria atau Mary adalah orang yang sama. Dia adalah seorang perempuan mulia. Paling mulia. Umat kristen memujanya dengan penuh penghormatan. Umat islam menghormati dengan penuh kesucian.
Maryam atau Maria adalah tokoh yang menyatukan dua agama besar dunia. Kristen dan Islam bisa bersatu bila menyebut nama Maria. Mereka sepaham, sepercaya, sependapat tentang Maria. Tanpa ada perbedaan dan perselisihan pada pernik perbedaan.
Banyak umat Kristen tak mengetahui betapa kaum muslim mensucikan Maria.
Banyak umat Islam tak sadar mereka menghormati sosok Maria. Dari tiga agama sama atau agama Ibrahim, hanya Yahudi yang mencelanya. Mereka menganggap Maria penuh cela bagai perempuan zinah.
Ajaran Islam menghormati Maria untuk nama sebuah surat dalam kitab sucinya.
Dari 114 surat dalam Quran, ada Surat Yunus (Jonah), Yusuf (Joseph), Hud (Hud)
Ada Surat Ibrahim (Abraham), Luqman, Rum (Romawi) dan Surat Muhammad
Tapi ada satu-satunya surat dengan nama wanita dalam Quran, Surat Maryam.
Dalam Islam, Maryam diabadikan penuh kesucian dalam kitab suci mereka.
Tak ada kitab atau bab bernama Maria dalam kitab suci manapun adanya.
Banyak kalangan menyebut Islam “lebih kristiani dari umat Kristen” soal Maria.
Ini tidak untuk merendahkan keyakinan non-Islam tentang Maria.
Maria adalah perempuan pilihan dan suci, surat 3 ayat 42
Maria adalah perempuan terpercaya, surat 5 ayat 57
Maria adalah perempuan diatas segala-galanya, sejagat se semesta.
Maria simbol kesucian dalam Islam dan juga Kristen.
Di Libanon, Maria dihormati penuh khidmat oleh umat Kristen dan Islam. Inilah negeri tempat 19 agama dan alirannya hidup bersama. Kadang mereka berseteru, berkelahi, berperang dan saling membunuh. Tapi bukan soal kepercayaan atau keimananan, tapi urusan dunia belaka.
Di negeri Liban ini, banyak bangsa Arab hidup yang tak mengikuti ajaran Muhammad.
Namun mereka tak pernah mencela, menghina Islam apalagi Muhammad. Dari antropologis, bagaimanapun Muhammad adalah orang Arab. Bangsa Liban yang Arab mustahil menghina orang yang memuliakan ras Arab di dunia.
Negeri itu mulai tahun ini, setiap 25 Maret merayakan hari suci keagamaan bersama.
Hari ketika Malaikat Jibril membisikan kepada Maria bahwa dia akan mengandung.
Mengandung bayi yang kelak bernama Isa al Masih atau Jesus Kristus. Sebuah kelahiran tanpa ayah sebuah tanda kebesaran Tuhan.
Umat Islam wajib mempercayai kelahiran suci itu, ‘virgin birth’. Sebuah keimanan yang sama dengan iman dan nurani kristiani. Orang Libanon menyatukannya dengan sebuah perayaan bersama. Mereka melantunkan suara azan bersama alunan lagu Ave Maria.
Perayaan ini bukan mencampurkan keyakinan dan keimanan. Ini adalah bentuk kesamaan dan titik temu sebuah keimanan. Dan titik temu ada pada sosok Maryam, Mary atau Maria. Mereka merenung, bergembira, bersuka cita untuk sebuah kesamaan.
Tak ada kitab atau bab bernama Maria dalam kitab suci manapun adanya.
Banyak kalangan menyebut Islam “lebih kristiani dari umat Kristen” soal Maria.
Ini tidak untuk merendahkan keyakinan non-Islam tentang Maria.
Maria adalah perempuan pilihan dan suci, surat 3 ayat 42
Maria adalah perempuan terpercaya, surat 5 ayat 57
Maria adalah perempuan diatas segala-galanya, sejagat se semesta.
Maria simbol kesucian dalam Islam dan juga Kristen.
Di Libanon, Maria dihormati penuh khidmat oleh umat Kristen dan Islam. Inilah negeri tempat 19 agama dan alirannya hidup bersama. Kadang mereka berseteru, berkelahi, berperang dan saling membunuh. Tapi bukan soal kepercayaan atau keimananan, tapi urusan dunia belaka.
Di negeri Liban ini, banyak bangsa Arab hidup yang tak mengikuti ajaran Muhammad.
Namun mereka tak pernah mencela, menghina Islam apalagi Muhammad. Dari antropologis, bagaimanapun Muhammad adalah orang Arab. Bangsa Liban yang Arab mustahil menghina orang yang memuliakan ras Arab di dunia.
Negeri itu mulai tahun ini, setiap 25 Maret merayakan hari suci keagamaan bersama.
Hari ketika Malaikat Jibril membisikan kepada Maria bahwa dia akan mengandung.
Mengandung bayi yang kelak bernama Isa al Masih atau Jesus Kristus. Sebuah kelahiran tanpa ayah sebuah tanda kebesaran Tuhan.
Umat Islam wajib mempercayai kelahiran suci itu, ‘virgin birth’. Sebuah keimanan yang sama dengan iman dan nurani kristiani. Orang Libanon menyatukannya dengan sebuah perayaan bersama. Mereka melantunkan suara azan bersama alunan lagu Ave Maria.
Perayaan ini bukan mencampurkan keyakinan dan keimanan. Ini adalah bentuk kesamaan dan titik temu sebuah keimanan. Dan titik temu ada pada sosok Maryam, Mary atau Maria. Mereka merenung, bergembira, bersuka cita untuk sebuah kesamaan.
Foto koleksi pribadi Penulis, gereja yang berdampingan side-by-side dengan masjid, di satu daerah di Tanjung Priok
Seharusnya perayaan ini juga dirayakan di Indonesia. Sebuah negeri yang sebangun seperti Libanon. Negeri yang hidup dan kaya dari perbedaan Tapi miskin dalam menggali persamaan.
Maryam adalah sosok suci dan mulia bagi umat Islam.
Maria adalah Mater Dei bagi umat Kristen.
Selayaknya mereka bersatu dalam banyak perbedaan. Karena hidup sangat indah dengan perbedaan dan persamaan.
Syair “Ave Maria”
Ave Maria
Gratia plena
Maria
Gratia planea
Ave ave dominum
Dominus tecum
Benedicta tu in mulieribus
Et benedictus fructus ventris
Tui, Jesus
Sancta Maria
Mater Dei
Ora pro nobis peccatoribus
Nunc et in hora mortis nostrae
Amen
Lafal Azan
Allah Maha Besar الله اكبر
Allah Maha Besar الله أكبر
Saya bersaksi tak ada tuhan selain Allah أشهد ان لا اله الا الله
Saya bersaksi Muhammad adalah utusanNya وأشهد أن محمدا رسول الله
Marilah Kita Sholat حي على الصلات
Marilah Kita Sholat حي على الصلات
Marilah raih kebahagiaan حي على الفلاح
Marilah raih kebahagiaan حي على الفلاح
Allah Maha Besar الله اكبر
Allah Maha Besar لله اكبر
Tidak ada tuhan selain Allah لا اله الا الله
Source
Suara Azan Bercampur Ave Maria
Ave Maria
Gratia plena
Maria
Gratia planea
Ave ave dominum
Dominus tecum
Benedicta tu in mulieribus
Et benedictus fructus ventris
Tui, Jesus
Sancta Maria
Mater Dei
Ora pro nobis peccatoribus
Nunc et in hora mortis nostrae
Amen
Lafal Azan
Allah Maha Besar الله اكبر
Allah Maha Besar الله أكبر
Saya bersaksi tak ada tuhan selain Allah أشهد ان لا اله الا الله
Saya bersaksi Muhammad adalah utusanNya وأشهد أن محمدا رسول الله
Marilah Kita Sholat حي على الصلات
Marilah Kita Sholat حي على الصلات
Marilah raih kebahagiaan حي على الفلاح
Marilah raih kebahagiaan حي على الفلاح
Allah Maha Besar الله اكبر
Allah Maha Besar لله اكبر
Tidak ada tuhan selain Allah لا اله الا الله
Source
Suara Azan Bercampur Ave Maria
Asal Usul Lontong Cap Go Meh
Satu lagi kuliner khas Semarang dan budaya Tionghoa Peranakan. Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh ini.
Foto 1: Lontong Cap Go Meh
Full set dari lontong cap go meh yang terlihat dalam foto ini terdiri dari lontong, ayam opor, ayam abing (akan dijelaskan lebih lanjut), sambel goreng ati ampela, lodeh terong/labu, telor pindang, bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak terlihat dalam foto, akan dijelaskan terpisah juga).
Foto 1: Lontong Cap Go Meh
Full set dari lontong cap go meh yang terlihat dalam foto ini terdiri dari lontong, ayam opor, ayam abing (akan dijelaskan lebih lanjut), sambel goreng ati ampela, lodeh terong/labu, telor pindang, bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak terlihat dalam foto, akan dijelaskan terpisah juga).
Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin yang dari Pontianak atau Bangka sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini. Kemudian disambung dengan atraksi barongsai, dan lontong cap go meh sendiri sudah mulai menyebar di beberapa bagian di Nusantara ini. Bahkan makanan ini sudah jadi paten namanya di mana-mana, menu di resto, warung, bahkan foodcourt di mall-mall akan seragam semua namanya: ‘lontong cap go meh’, padahal dimakan setiap saat, bukan pas cap go meh. Sepengetahuan saya, di Kalimantan perayaan Cap Go Meh tidak dengan menyajikan makanan ini.
Semua referensi baik buku kuno, sejarah Semarang, situs-situs kuliner, Google dibolak-balik, Wikipedia ditelusuri, tapi tidak ada satu pun yang menceritakan sejarah atau asal usul lontong cap go meh. Semua website hanya menampilkan sajian lontong cap go meh dan pernik-perniknya. Saya mencoba untuk menebak dan mengira-ngira latar belakang asal usul lontong cap go meh.
Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya ‘program pembauran’, tanpa adanya politik dsb.
Pembauran ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu, mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong) adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu (juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput kematian karena hukuman mati Kaisar.
Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah, bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme, dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga berkembang dengan subur di bumi Nusantara.
Perayaan Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (春节), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami ‘winter’, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah ‘Imlek’ atau ‘Sincia’.
Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (元宵节, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (上元节‚, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya ‘malam ke 15’ alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama ‘resmi’ Yuan Xiao Jie.
Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (元宵) atau ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan, makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini, khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat aneh bagi penduduk lokal.
Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan lagi pendamping lontong tadi dengan ‘sup’ ayam modifikasi dan silang budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini, ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.
Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang bisa menjelaskan ‘opor ayam’ itu berasal dari mana, sejak kapan ada di Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya disebutkan ‘resep warisan leluhur’. Praduga inipun hanya berdasarkan imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.
Foto 2: Lontong
Semua referensi baik buku kuno, sejarah Semarang, situs-situs kuliner, Google dibolak-balik, Wikipedia ditelusuri, tapi tidak ada satu pun yang menceritakan sejarah atau asal usul lontong cap go meh. Semua website hanya menampilkan sajian lontong cap go meh dan pernik-perniknya. Saya mencoba untuk menebak dan mengira-ngira latar belakang asal usul lontong cap go meh.
Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya ‘program pembauran’, tanpa adanya politik dsb.
Pembauran ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu, mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong) adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu (juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput kematian karena hukuman mati Kaisar.
Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah, bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme, dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga berkembang dengan subur di bumi Nusantara.
Perayaan Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (春节), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami ‘winter’, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah ‘Imlek’ atau ‘Sincia’.
Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (元宵节, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (上元节‚, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya ‘malam ke 15’ alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama ‘resmi’ Yuan Xiao Jie.
Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (元宵) atau ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan, makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini, khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat aneh bagi penduduk lokal.
Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan lagi pendamping lontong tadi dengan ‘sup’ ayam modifikasi dan silang budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini, ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.
Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang bisa menjelaskan ‘opor ayam’ itu berasal dari mana, sejak kapan ada di Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya disebutkan ‘resep warisan leluhur’. Praduga inipun hanya berdasarkan imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.
Foto 2: Lontong
Seperti diuraikan di atas, secara simbolis, lontong menggantikan sajian ‘resmi’ di negeri asalnya yaitu yuanxiao alias ronde. Melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, melambangkan kebulatan dan kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan dari bahannya.
Foto 3: Ayam Opor
Foto 3: Ayam Opor
Dari warnanya jelas terlihat kuning. Sebenarnya opor di Jawa terdiri dari 2 macam, opor putih dan opor kuning. Opor putih di sini lebih banyak diminati oleh kalangan emak-emak (sebutan), yaitu para wanita Tionghoa yang sudah membaur dengan kebiasaan setempat mengenakan baju kurung (bukan kebaya) dan sarung selayaknya penduduk setempat. Penampilan unik ini hanya ada di Jawa. Inilah yang disebut emak-emak atau golongan Tionghoa babah. Sebutan Tionghoa babah adalah golongan yang sudah berasimilasi dan berbaur dengan penduduk lokal, sementara Tionghoa totok adalah golongan yang baru datang dari China dan belum berbaur.
Sementara opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan alasan ‘luwih ayu’ (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui bahwa fungsi kunyit sangat baik untuk kesehatan tubuh.
Makna warna kuning diasosiasikan dengan emas, yang berkonotasi kemakmuran dan kemakmuran. Saya pribadi lebih suka opor kuning, yang memang terlihat lebih cantik dan rasanya lebih ‘sedep’.
Foto 4: Sambel Goreng Ati Ampela
Sementara opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan alasan ‘luwih ayu’ (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui bahwa fungsi kunyit sangat baik untuk kesehatan tubuh.
Makna warna kuning diasosiasikan dengan emas, yang berkonotasi kemakmuran dan kemakmuran. Saya pribadi lebih suka opor kuning, yang memang terlihat lebih cantik dan rasanya lebih ‘sedep’.
Foto 4: Sambel Goreng Ati Ampela
Warna merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan warna wajib perayaan Imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang Tionghoa. Jelas sekali bahwa makanan ini adalah lintas budaya asimilasi yang melebur total karena jelas di China tidak ada masakan seperti ini, dan mayoritas masyarakat tidak meyukai pedas, apalagi masakan dengan banyak rempah dengan rasa dan aroma yang tajam seperti sambel goreng. Terkecuali beberapa wilayah di China yang memang akrab dengan pedas, seperti Sichuan, dan itupun tidak menggunakan santan dan rempah seperti masakan khas ini.
Foto 5: Telor Pindang
Foto 5: Telor Pindang
Jelas juga bahwa telor di manapun juga melambangkan rejeki, murah rejeki, kemakmuran, harapan baik, segala sesuatu yang baik. Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia, lebih spesifik lagi di Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor pindang nikmat yang gempi (apa ya bahasa Indonesia’nya?). Memang telor ‘pindang’ juga ada di China, tapi namanya telor teh alias cha ye dan (茶叶蛋, baca: ja ye tan), yang memiliki penampakan yang mirip, telor kecoklatan nikmat. Walaupun aroma dan rasa yang berbeda sama sekali.
Foto 6: Lodeh Terong atau Labu
Foto 6: Lodeh Terong atau Labu
Ini pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau terong sebagai sayurnya, melambangkan harapan baik juga, labu atau terong, suatu harapan dan cita-cita yang baik, warna putih yang menyiratkan lembaran baru di tahun yang baru. Perbedaan terong dan labu hanya perbedaan daerah saja. Di Semarang, lebih suka labu atau jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.
Foto 7 & 8: Ayam Abing & Kelapa Sangrai
Ini sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang, ada juga yang menyebutnya ‘sate abing’. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang menggambarkan warna merah yang sangat merah, warna merah dalam bahasa Jawa disebut ‘abang’, dan sangat merah disebut ‘abing’. Masakan ini kalau boleh saya sebut nama lainnya bisa juga disebut ‘opor merah’ (ini istilah saya saja lho). Pembuatan yang lebih rumit dari opor biasa, karena harus menggunakan kelapa parut yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan. Cairan kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak ‘opor merah’ ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor (minus kunyit, supaya warna merah tua terjaga). Rasanya bagaimana? Hanya orang Semarang yang mungkin bisa menggambarkannya. Walaupun saya juga cukup yakin bahwa mungkin banyak di antara kita semua yang sudah pernah merasakannya. Sepengetahuan saya, ayam abing ini tidak didapati di daerah lain.
Sesuai namanya yang ‘sangat merah’ menyimbolkan makna yang sama dengan sambel goreng ati tadi di atas, warna khas perayaan Imlek, dan masakan ini merupakan kemewahan tersendiri di saat menyambut Tahun Baru Imlek. Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa membuat ayam abing dengan benar dan menghasilkan masakan yang sedap. Sementara nama lain ‘sate abing’ adalah warna kecoklatan yang diasosiasikan dengan bumbu sate.
Bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak ada fotonya), sebagai pelengkap dan penyedap dari hidangan khas ini. Bubuk dokcang terbuat dari kedelai yang disangrai dicampur dengan sedikit kaldu (Maggi atau merek lain) dan kemudian digiling halus sampai jadi bubuk kecoklatan.Semoga uraian singkat ini dapat bermanfaat dan menjadi titik awal penelitian dan penelusuran selanjutnya mengenai asal-usul lontong cap go meh yang nikmat ini. Saking nikmatnya dan sudah menjadi salah satu kuliner khas Nusantara, sampai-sampai namanya pun melekat erat dan menjadi trade mark yang dapat disantap kapanpun, di manapun juga.Bagi pembaca di luar Indonesia, harap jangan sampai ngiler atau ngeces, kalau setelah membaca ini kemudian homesick menghebat, iler ketes-ketes (air liur netes-netes), tolong jangan timpuki saya
ya…..hehehe…..Terima kasih sekali lagi sudah mau membaca cerita ngalor ngidul saya ini, yang berusaha menulis ‘fiksi sejarah’ mengingat sangat terbatasnya referensi mengenai makanan lontong cap go meh ini.
Photo by: Josh Chen
Lontong cap go meh by: Warung Eddie
Source
Lontong cap go meh by: Warung Eddie
Source
http://baltyra.com/2009/01/31/asal-usul-lontong-cap-go-meh/
Gevin Menzies: 1421 The Year China Discovered The World, Bantam Press 2003.
Remy Sylado: Sam Po Kong, Gramedia Pustaka Utama 2004.
Liem Thian Joe: Riwayat Semarang, Hasta Wahana 2004.
Sumber-sumber lisan.
http://www.china.com.cn/ch-jieri/yuanxiao/2.htm
http://baike.baidu.com/view/104822.htm
http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2005-08/msg00123.html
http://iccsg.wordpress.com/2006/08/17/lun-gwee-bulan-kabisat-dalam-kalender-imlek/
http://handelstraat.multiply.com/journal
http://rdroege.multiply.com/journal/item/69/LONTONG_CAP_GO_MEH
Gevin Menzies: 1421 The Year China Discovered The World, Bantam Press 2003.
Remy Sylado: Sam Po Kong, Gramedia Pustaka Utama 2004.
Liem Thian Joe: Riwayat Semarang, Hasta Wahana 2004.
Sumber-sumber lisan.
http://www.china.com.cn/ch-jieri/yuanxiao/2.htm
http://baike.baidu.com/view/104822.htm
http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2005-08/msg00123.html
http://iccsg.wordpress.com/2006/08/17/lun-gwee-bulan-kabisat-dalam-kalender-imlek/
http://handelstraat.multiply.com/journal
http://rdroege.multiply.com/journal/item/69/LONTONG_CAP_GO_MEH
Catatan:
Tulisan ini pernah keluar di Kompas Komuniti, di bagian MakPles, tanggal 27 Februari 2008
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60864§ion=92
Dan juga pernah keluar di Kompas Komunitas http://community.kompas.com/read/artikel/55
Cahaya aneh terlihat di langit malam
Di bawah ini adalah foto-foto yang dikirim oleh M. Gen. Foto-foto ini menampakan cahaya-cahaya aneh berbentuk ular di langit malam.
Saya tidak memiliki penjelasan mengenai fenomena ini. Saya kira cukup menarik karena selain M. Gen, fenomena ini juga dilihat oleh orang lain pada waktu yang berbeda.
Foto-foto di bawah ini diambil pada tanggal 9 September 2010 pukul 18.32. Pada foto ini, kita bisa melihat adanya cahaya-cahaya kuning yang melayang di kejauhan. Ketika melihat cahaya-cahaya itu, mungkin kita akan menganggapnya sebagai balon atau lampion, namun, lihat foto berikutnya:
Saya tidak memiliki penjelasan mengenai fenomena ini. Saya kira cukup menarik karena selain M. Gen, fenomena ini juga dilihat oleh orang lain pada waktu yang berbeda.
Foto-foto di bawah ini diambil pada tanggal 9 September 2010 pukul 18.32. Pada foto ini, kita bisa melihat adanya cahaya-cahaya kuning yang melayang di kejauhan. Ketika melihat cahaya-cahaya itu, mungkin kita akan menganggapnya sebagai balon atau lampion, namun, lihat foto berikutnya:
Cahaya tersebut ternyata tidak hanya berbentuk bola, melainkan juga berbentuk seperti ular atau tali.
Di bawah ini foto lokasi penampakan pada siang hari.
Seperti yang saya katakan di atas, penampakan ini ternyata bukan hanya dialami oleh M Gen. Cahaya-cahaya aneh ini muncul kembali dalam jumlah besar pada hari Minggu, 24 Oktober 2010, dan terlihat oleh banyak orang di wilayah Tangerang.
Joseph Chen dari Baltyra.com memforward link yang berisi foto-foto penampakan tersebut kepada saya. Ia berhasil mengabadikan objek-objek itu dengan sangat baik.
Joseph Chen dari Baltyra.com memforward link yang berisi foto-foto penampakan tersebut kepada saya. Ia berhasil mengabadikan objek-objek itu dengan sangat baik.
Dalam blognya, Joseph menulis:
Hari Minggu yang baru lewat, 24 Oktober 2010, petang hari itu kami sekeluarga sedang bersiap-siap untuk doa lingkungan bersama. Doa lingkungan ini diadakan 9 hari berturut-turut untuk menghormati bulan Oktober, bulan Maria.
Waktu sedang menata ruang tengah, tiba-tiba kami dikejutkan seruan tetangga depan rumah kami untuk keluar. Di luar kami lihat beberapa orang menengadah ke langit memandangi sesuatu sambil menunjuk-nunjuk.
Waktu saya menengadah juga, terbelalaklah mata karena melihat barisan titik-titik warna merah-jingga-kekuningan berpendar melaju ke arah yang sama. Titik-titik aneh di langit malam tsb berbaris dan berjajar dalam posisi teratur. Dan makin heran waktu melihat titik-titik itu tidak ada habisnya mengalir datang dari satu arah dan melaju ke arah lain. Formasi tertentu, jarak yang teratur, dan keseragaman yang aneh.
Menurut Joseph, cahaya-cahaya misterius tersebut terus mengalir selama sekitar 45-50 menit hingga habis.
Kalian bisa melihat foto-foto cahaya dengan bentuk-bentuk lainnya pada postingan Joseph di Baltyra.com. Klik disini.
Seperti yang saya katakan, saya tidak punya penjelasan mengenai fenomena ini. Untuk saat ini, saya tidak percaya kalau cahaya-cahaya itu berasal dari balon udara ataupun layang-layang karena balon atau layang-layang tidak akan bergerak mengalir secara teratur hingga 45-50 menit.
Tentu saja cahaya-cahaya tersebut juga tidak mirip dengan cahaya yang berasal pesawat komersil. Bisa saja cahaya itu berasal dari pesawat alien, tetapi saya tidak bisa memastikannya karena saya belum pernah melihat pesawat alien.
Bagaimana menurut kalian?
UPDATE
Objek tersebut ternyata tidak berbentuk ular. Dalam blognya, Joseph menyebutkan kalau objek itu berbentuk seperti titik. Saya sudah mengkonfirmasinya ke Joseph dan memang objek tersebut berbentuk titik seperti pada foto pertama dan kedua pada postingan ini. Jadi, bentuk ular tersebut hanya efek kamera. Dengan demikian, mungkin bisa mempermudah kita untuk menganalisanya.
Tambahan: Menurut berita yang beredar, cahaya-cahaya yang terlihat di foto-foto Joseph tersebut adalah 100 lampion yang dilepaskan dari sebuah vihara di BSD. Untuk konfirmasinya, tunggu update saya.
Thanks.
Cahaya aneh terlihat di langit malam