Sperma Membuat Anda Pintar

Up 0 komentar
Penelitian sperma di tahun 2009, menunjukan bahwa menelan sperma membuat awet muda, bilamana sperma yang mengandung zat spermidine ini ditelan secara teratur, itu memperpanjang umur dan mencegah penyakit Alzheimer.
Penelitian yang di publikasikan pertengahan tahun ini, pada buku yang berjudul “Why is the Penis Shaped Like That ?” dari Jesse Bering, sperma juga mempunyai pengaruh pada inteligensi wanita dan bukan hanya ini tetapi ternyata juga menjadikan wanita lebih ramah.

Sperma mengandung prolactine atau antidepresivum secara alam, estron untuk memperbaiki suasana hati, cortisol untuk meningkatkan perasaan kasih sayang, melatonine untuk meningkatkan tidur yang lebih nyenyak dan zat kimia yang paling terkenal yaitu serotonine. Serotonine itu untuk melawan depresi, apabila kekurangan serotonine, anda merasa depresif, negatif emosi seperti perasaan ketakutan.

Penelitian pada 293 mahasiswi, sains berkesimpulan bahwa wanita yang rutin berhubungan tanpa kondom lebih kurang menderita depresi dan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dari pada wanita yang memakai kondom dan wanita tanpa sex. Ini dikarenakan sperma bebas berenang kemana saja di dalam tubuh wanita.
Dalam penelitian wanita juga membedakan antara sperma pasangan tetapnya dan sperma pria lain – lainnya. Pada suatu hari hubungan tetap ini putus, mengakibatkan gejala depresi yang lebih parah apabila sudah ada gejala depresi sebelumnya.

Jadi sperma bukan hanya untuk menghasilkan keturunan tapi juga memicu pada wanita untuk melakukan rutinitas atau aktif bercinta.



Source
Sperma Membuat Anda Pintar
BACA FULL»

Pelajaran IPA dan IPS di SD (Tidak) Akan Dihapus

Up 0 komentar
Banyak posting di facebook dan artikel-artikel di blog yang menyoroti dihapusnya pelajaran IPA dan IPS. Sayangnya, posting dan artikel tersebut tidak cermat dan cenderung menyesatkan. Banyak pihak yang menulis posting dan artikel hanya didasarkan kepada judul yang dipakai oleh media, tanpa membaca isi dari berita yang seutuhnya.

Penyesatan ini berawal dari judul-judul berita yang dipakai oleh media, yaitu PELAJARAN IPA DAN IPS dihapus. Padahal isi berita di artikel tersebut BUKAN PENGHAPUSAN, melainkan penggabungan.

Di bawah ini saya berikan dua contoh berita dengan judul tersebut:

(1) http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/079432659/Pelajaran-IPA-dan-IPS-Sekolah-Dasar-Dihapus
(2) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/530871/

Tanpa membaca cermat, banyak pihak yang serta merta memaki-maki Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Bahkan beberapa posting dan artikel di blog mengatakan bahwa pendidikan IPA dan IPS di SD dihapus dan akan diganti dengan pendidikan Agama. Pendidikan Agama akan diperbanyak. Sungguh ini adalah sebuah berita yang tidak benar sama sekali.
Sebenarnya, penggabungan IPA dan IPS di SD adalah merupakan reaksi dari curahan hati (curhat) Pak Boediono di Harian Kompas tanggal 27 Agustus 2012. Dalam artikel berjudul: ”Pendidikan Kunci Pembangunan” Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia menyentil bahwa pendidikan Indonesia ’belum punya konsep yang jelas’, sehingga semua hal dijejalkan dalam kurikulum.

Saya yakin bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia sudah mengomunikasikan kegalauannya ini kepada para menterinya saat rapat kabinet. Bahkan saya juga yakin beliau sudah memberi instruksi. Namun mungkin himbauan dan instruksi ini tidak pernah didengar oleh para menterinya, sehingga Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia perlu curhat kepada rakyat melalui Harian Kompas. Sungguh terlalu.

Marilah kita kembali kepada pokok bahasan, yaitu penggabungan pelajaran IPA dan IPS di SD.

IPA dan IPS di SD tidak dihapus tapi direncanakan digabung. Penggabungan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan agama. Alasan penggabungan IPA dan IPS di SD adalah karena pada kurikulum yang sekarang beban anak terlalu berat dan isinya hanya menghafal saja. Jika materinya dikurangi, maka akan ada kesempatan bagi guru untuk mengajarkan ‘cara belajar’ daripada menyelesaikan materi yang terlalu banyak. Adalah lebih penting mengajarkan konsep tentang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial sehingga anak-anak bisa mengenali, menyadari dan menalar hal-hal yang ada di sekitarnya, di negaranya dan di dunia.

Pikiran di balik penggabungan IPA dan IPS di SD adalah perubahan kebutuhan anak sekarang ini. Jika sebelum tahun 90-an informasi harus dihafal, sekarang ini informasi bisa didapat dengan cepat melalui internet. Saat ini anak tidak membutuhkan menyerap dan menyimpan informasi, tetapi membutuhkan kemampuan untuk mencari informasi, menalarnya, mengolahnya sehingga informasi tersebut bermakna bagi si anak. Kemampuan mencari, menalar dan mengolah informasi menjadi bekal bagi mereka saat memasuki dunia dewasa. Oleh sebab itu, lebih penting mengajarkan kepada anak tentang: ‘BAGAIMANA BELAJAR’ daripada mengharuskan mereka untuk menyerap informasi.

Pada kurikulum SD sekarang ini, untuk menjamin anak-anak mempunyai informasi yang memadai, maka diajarkan IPA dan IPS secara terpisah. Akibatnya anak hanya dijejali informasi yang sebenarnya sangat mudah bisa didapat hanya dengan menulis kata kunci di Google. Makanya, sekarang ini IPA dan IPS akan digabung supaya anak belajar konsep Ilmu Pengetahuan dan tahu bagaimana Ilmu Pengetahuan bekerja, serta bisa mencari informasi, menalar dan mengolah informasi tersebut sehingga menjadi sebuah makna bagi dirinya.

Sebenarnya, isu bongkar kurikulum sekarang ini bukan sekedar penggabungan IPA dan IPS di SD, melainkan penyusunan ulang kurikulum pendidikan nasional. Seperti telah disinggung diatas, Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia curhat bahwa pendidikan kita belum punya konsep yang jelas. Pak Boediono menjelaskan: ”Karena tak ada konsepsi yang jelas, timbullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahkan yang diajarkan terasa ”berat”, tetapi tidak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.” Beban materi pelajaran yang begitu berat membuat anak tidak sempat belajar keterampilan lain, selain menghafal.

Beban materi yang terlalu banyak dan pengabaian terhadap kecakapan hidup lainnya, mengakibatkan anak belajar mengejar materi (pelajaran) melalui segala cara. Akibatnya, ketika mereka masuk dunia kerja, mereka menerapkan hasil belajarnya ’mengejar materi’ dengan segala cara. Termasuk KORUPSI!

Artinya, kurikulum yang ada sekarang harus didesain ulang.

Selanjutnya Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia menutup artikelnya dengan mengambil contoh dari kurikulum S1 Amerika Serikat, dimaka delapan kemampuan menjadi patokan penyusunan kurikulum. Ke delapan kemampuan tersebut adalah:

(1) Kemampuan berkomunikasi,

(2) Kemampuan berpikir jernih dan kritis,

(3) Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,

(4) Kemampuan untuk menjadi warga negara yang efektif,

(5) Kemampuan untuk mencoba mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda,

(6) Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal,

(7) Kemampuan memiliki minat yang luas mengenai hidup,

(8) Kesiapan untuk bekerja.

Jadi, marilah kita kawal re-disain kurikulum ini dengan cermat, sehingga para pakar yang sekarang ini bekerja di gedung Kemendikbud dan Kemenag bisa menghasilkan sebuah kurikulum pendidikan yang bisa menyiapkan anak-anak Indonesia yang mampu mengelola negara dan bersaing di kancah global. Bukan kurikulum yang menjadikan anak mengejar materi melalui korupsi.



Pelajaran IPA dan IPS di SD (Tidak) Akan Dihapus
BACA FULL»

Pembelokan Sejarah yang Tercecer

Up 0 komentar
Genjer-genjer, bagi teman-teman yang pernah merasakan hidup di jaman Orde Baru dan menonton film pengkhianatan G30S/PKI pasti akan sangat mengenalnya. Film tersebut adalah film wajib yang harus diputar di setiap malam 30 September hingga menjelang masa reformasi. Kenapa lagu ini berkaitan dengan Film itu, tak lain di salah satu bagian film “propaganda” itu kita akan menemukan penggalan kisah pembantaian para Jendral. “Konon“ saat peristiwa tersebut berlangsung, anggota Gerwani selaku Ormas underbow PKI menyanyikan lagu ini untuk mengiringi “prosesi” penyiksaan ke-tujuh Jendral AD hingga meninggal.


Mereka yang di film tersebut oleh anggota PKI selalu disebut sebagai anggota Dewan Jendral yakni sekumpulan Jendral AD yang berniat mengkudeta kekuasaan presiden Soekarno. Satu per satu para Jendral yang ditawan di Lubang Buaya disiksa oleh petinggi partai dan pimpinan ormas underbownya. Sementara di halaman rumah yang digunakan sebagai tempat penyiksaan, anggota dan simpatisan PKI menari sambil diiringi alunan suara ibu-ibu Gerwani yang menyanyikan lagu Genjer-genjer yang telah “diplesetkan” syairnya menjadi seperti di bawah ini.

Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli

Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni lan dipulosoro
Emake Gerwani teko kabeh melu ngersoyo
Jendral-jendral maju terus dipateni


Sebelum berpanjang lebar membahas masalah lagu ini, mari kita sama-sama mempelajari sejarah penciptaan lagu Genjer-genjer.

** Sejarah Lagu Genjer-genjer **

Lagu “Genjer-genjer” diciptakan oleh seorang seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief. Menurut beberapa orang tokoh pegiat seni dan budaya Banyuwangi yang juga merupakan teman seangkatan almarhum Muhammad Arief, lagu ini diciptakan sebagai gambaran keadaan masyarakat Banyuwangi pada zaman pendudukan Jepang. Saat itu Banyuwangi, yang sedari jaman kerajaan Majapahit terkenal sebagai salah satu lumbung pangan di pulau Jawa tak pernah mengalami paceklik / kekurangan pangan. Hasil bumi yang melimpah dari tanah Blambangan (Banyuwangi-Red, asal kata Blambangan adalah Balumbung, yang artinya lumpung pangan. Blambangan dulu meliputi 5 kabupaten di Jawa Timur saat ini, yakni Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi) selalu mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya, bahkan hampir tiap masa panen selalu dikirim dan dipasarkan ke daerah lain. Keadaan itu berubah sejak kedatangan Jepang di Bumi Blambangan.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak warga Banyuwangi yang sedang memasuki usia produktif terutama kaum pria-nya ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja paksa/Romusha. Mereka di kirim ke seantero Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos). Mereka dipekerjakan di kamp-kamp militer Jepang yang sedang berperang dengan Sekutu. Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di Banyuwangi terbengkalai dan tak terurus. Hasil panen yang melimpah turun drastis. Jangankan untuk dikirim ke luar daerah, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Banyuwangi saja tidak mencukupi. Banyak warga yang mengalami kelaparan dan meninggal dunia.


Muhammad Arief yang saat peristiwa itu tidak ikut ditangkap oleh pihak Jepang menciptakan lagu Genjer-genjer karena terinspirasi dari masakan sang istri, Sayekti. Karena ketiadaan sayur mayur dan ikan, Sayekti mengolah tanaman Genjer untuk sayuran. Olahan Genjer yang biasanya dimasak oseng-oseng / tumis ternyata menggugah selera makan M. Arief. Masakan itu terasa enak dan sejak saat itu begitu disukainya dan juga warga sekitar.

Genjer adalah sejenis gulma yang biasa hidup di antara tanaman padi di sawah. Awalnya genjer yang dalam bahasa latinnya disebut Limnocharis flava oleh masyarakat Banyuwangi hanya digunakan untuk makanan ayam, itik ataupun babi. Karena kejadian itulah, maka M Arief menciptakan lagu Genjer-genjer, yang menurut H Adang CY dan Hasnan Singodimayan sebagai bentuk sindiran pada penjajah Jepang. Di beberapa situs yang sempat saya kunjungi untuk mencari referensi, lagu ini diciptkan sekitar tahun 1942/1943. Haji Adang CY dan Hasnan Singodimayan sendiri adalah teman seangkatan M Arief.

Masih menurut kedua karib Almarhum tersebut, lagu Genjer-genjer diciptakan juga karena terilhami lagu mainan yang saat itu sudah melegenda di Banyuwangi. Lagu yang dimaksudkan mereka berdua berjudul “Tong ala gentong ali-ali moto ijo“. Dan oleh M Arief dikasih syair yang diperbarui hingga jadilah lagu Genjer-genjer yang kontroversial itu. Berikut syair asli lagu Genjer-genjer berdasarkan buku catatan M Arief yang ditunjukkan Sinar Syamsi, putra tunggal Almarhum.

Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Ema’e jebeng podo tuku gowo welasar
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Terjemahannya :

Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
Dapat sebakul dipilih yang muda-muda
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu saya beli genjer dimasukkan dalam tas
Genjer-genjer sekarang akan dimasak


** Kenapa Lagu Genjer-genjer Identik dengan PKI? **

Lagu Genjer-genjer, yang awalnya hanya dinyanyikan masyarakat Banyuwangi dan mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960-an awal. Pada kisaran tahun tersebut, lagu Genjer-genjer dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Dan setelah dinyanyikan oleh mereka berdua, lagu itu semakin terkenal.

Di salah satu situs (Detik Forum) disebutkan kenapa lagu ini sempat dikaitkan dengan PKI. Hal itu tak lepas dari andil salah satu petinggi PKI yang juga petinggi LEKRA (LEmbaga Kesenian RAkyat -Underbow PKI) bernama Njoto. Tahun 1962, Njoto yang sedang dalam perjalanan menuju Bali mampir dan singgah di Banyuwangi. Saat itulah lagu “Genjer-genjer” oleh seniman Banyuwangi ditampilkan untuk menghiburnya. Njoto yang memang bernaluri seni cukup baik segera mencium gelagat jika lagu itu akan menjadi booming di jamannya. Dan benar, tak lama setelah itu lagu itu seakan menjadi lagu wajib bagi TVRI dan RRI yang semakin rajin menyiarkannya.

Selepas kunjungan Njoto di tahun 1962 itu, hubungan antara aktifis LEKRA dan seniman Banyuwangi semakin mesra. Njoto meminta M Arief untuk membuatkan beberapa lagu yang bernafaskan PKI antara lain lagu Ganefo, 1 Mei, Mars Lekra, Harian Rakyat dan proklamasi. Sebagai mantan tentara dan pegiat Seni, M. Arief akhirnya diberi jabatan sebagai anggota DPRD Banyuwangi mewakili PKI.

Selepas tragedi 30 September 1965, menurut Sinar Syamsi (putra M Arief) yang saat itu berusia 11 tahun terjadi demo besar-besaran di Alun-Alun banyuwangi. Demo itu digawangi berbagai ormas menuntut pembubaran PKI dan pengadilan terhadap para aktifisnya. M Arief yang merasa terancam akhirnya melarikan diri hingga akhirnya tertangkap oleh CPM di Malang.

Peristiwa itu bisa jadi ada, selain karena M Arief aktif dalam berbagai kegiatan PKI, juga karena selepas tragedi berdarah itu beredar syair gubahan lagu Genjer-genjer yang beredar. Syair yang beredar itu seperti cuplikan syar di awal artikel ini. Sejak penangkapan itu, kabar berita tentang Muhammad Arief yang awalnya bernama Syamsul Muarif hilang bagai ditelan bumi. Hingga kini kabar keberadaan beliau tak pernah terungkap. Jika masih hidup ada di mana dan jika sudah meninggal, di mana pusaranya pun tak pernah tahu.

Jika keberadaan M Arief tak pernah terungkap. Sementara Sayekti selaku istri dan salah satu yang menginspirasi terciptanya lagu tersebut memilih tetap tinggal di Banyuwangi. Karena stigma negatif keluarga PKI, Sayekti sempat mengalami stress. Sayekti akhirnya meninggal dunia 26 januari 2007 lalu.

Karena stigma itu pula, Sinar Syamsi sempat menimbang kemungkinan untuk beralih kewarganegaraan. Menurut pria yang sempat beberapa kali di-PHK dengan alasan tak jelas, saat ini ada dua negara yang jadi pertimbangannya yakni Belanda dan China. Dia berharap, jika jadi pindah kewarganegaraan, dirinya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan terlepas dari stigma negatif tragedi kelam itu.



** Kesimpulan **

Jika menilik dari berbagai rujukan yang ada, sebenarnya lagu Genjer-genjer tidak ada kaitannya dengan PKI. Lagu itu diciptakan sebelum bangsa ini merdeka. Meski saat penjajahan Jepang, PKI juga sudah eksis di Indonesia, namun di sejumlah situs yang pernah saya kunjungi dan penuturan sahabat karib almarhum, bisa disimpulkan jika beliau baru terlihat aktif di PKI dan LEKRA selaku organisasi underbow PKI di kisaran tahun 1960-an.

Mengenai “gubahan” lagu Genjer-genjer versi GERWANI yang saya tampilkan di awal artikel ini, ada sebuah postingan menarik di detik forum. Di salah satu paragraf disebutkan bahwa yang pertama kali memplesetkan syair lagu Genjer-genjer adalah “harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)”. Hal ini diperkuat dengan catatan harian seorang Hasan / Hasnan Singodimayan, kawan karib almarhum yang juga aktifis HSBI (Himpunan Seni dan Budaya Islam – Underbow partai Masyumi).

Sebagai bagian akhir dari artikel ini, penulis menghimbau teman-teman yang membaca artikel ini, mari kita sudahi kontroversi lagu Genjer-genjer. Bagaimanapun lagu ini tidak salah dan tidak ada kaitannya dengan PKI. Lagu ini hanyalah sebuah karya seni adiluhung yang diciptakan melalui proses perenungan yang dalam melihat kesengsaraan rakyat Indonesia (umumnya) dan masyarakat Banyuwangi (khususnya), yang pada masa itu dijajah Jepang. Lagu ini sebagai salah satu bentuk perlawanan. Jika tentara melawan agresor dengan senapan di tangan, Wartawan dengan penanya. Pun dengan seniman, dia melawan dengan karya seni yang dihasilkan.

Yang salah dalam kasus lagu Genjer-genjer bukanlah lagunya, tapi hanya penciptanya. Seumpama keluarga, lagu Genjer-genjer adalah anak yang terlahir dari orang tua yang distigmakan negatif. Seperti halnya seorang anak penjahat, jika dia boleh memilih pasti akan memilih terlahir dari kedua orang tua yang baik-baik. Begitupun produk seni, meski pada akhirnya menjadi alat propaganda, penulis yakin itu hanyalah ulah oknum yang pandai memanfaatkan keadaan.

“Seni adalah Seni. Stop menyebarkan propaganda dan kebencian politik melalui media seni. “



Denpasar.01102012.000

Masopu



Note:

Mungkur Sedhot = berpaling begitu saja

Diuntingi = Diikat memakai media rumput ilalang atau tali yang terbuat dari irisan bambu tipis

Jebeng = Anak gadis

Mbubuti = mencabuti

Diolah berdasar referensi dari beberapa situs dan data dari teman-teman pegiat seni Banyuwangi



Pembelokan Sejarah yang Tercecer
BACA FULL»

Makanan Jalanan Tiga Negara

Up 0 komentar
Artikel ini saya tujukan buat seorang sahabat yang suka banget incip-incip makanan. Kebetulan kawan ini baru berulang tahun . Ketika saya sedang jalan, banyak SMS-nya yang berisi pertanyaan semisal ‘sudah makan belum, makan apa, dll. Mungkin dia tidak tahu kalau saya amat sangat rakus selama berjalan.

Selama jalan, setiap hari saya habiskan dengan berjalan kaki antara 15-20 km. Kalau tidak sedang berjalan kaki, ya duduk di atas kereta api antara 6-24 jam. Risiko berjalan murah meriah, perut pun jadi cepat lapar.

Dalam perjalanan, saya usahakan memilih makanan kaki lima dengan menu vegetarian. Kalau terpaksa mendaging, saya pilih ikan. Saya merasa lebih sehat paska vegetarian. Stamina meningkat dan nyaris tak pernah sakit. Dua bulan berjalan, satu-satunya sakit parah hanya telapak kaki yang berair karena memakai sandal gunung baru di awal jalan.

Selama di Penang, saya selalu menyantap laksa. Laksa paling sedap ala saya berada du depan kuil Kek Lok Si. Harganya 4 ringgit, ditemani es tebu yang 2 ringgit, rasanya nyam nyam.
Di Nibong Tebal, kawan saya Reddie banyak memperkenalkan makanan ala India. Selain roti canai yang hanya 0,80 ringgit, ada roti telur seharga 1,20 ringgit dan nan 2,0 ringgit. Sekali-sekali coba makan nan keju. Rasanya wow. Bumbu nan yang ahoy adalah tumbukan daun mint warna hijau. Nyegrak. Minumannya jelas tea ais alias teh tarik pakai es yang harganya 1,5 ringgit saja.
Sekali Reddie mengajak saya mengunjungi Fire Walking Ceremony, festival yang hanya diadakan sekali setahun di tiga kuil dekat Nibong Tebal. Kami pun dapat makan gratis dengan menu yang juga ‘vegetarian’. Nasi dihidangkan di atas daun pisang. Lauknya ada sayur labu, ubi jalar, sayur kacang. Minumannya es sirop atau bubur kacang hijau. Rasanya.. hmmm, manis!
*****

Di Songkhla, wilayah bagian Thailand Selatan yang dulu kental Islamnya sebelum disulap menjadi kota Buddha, saya hanya bisa menemukan mie rebus masam yang sedap. Harga per-mangkoknya antara 20-25 bath. Tapi kopi Songkhla patut dicoba. Biar hanya secangkir kecil, rasanya maknyus. Harga per-cangkir sekitar 20 bath. Kalau mau kopi murah, masuk saja 7-11, segelas plastik besar 15 bath plus gratis es.

Di Stasiun Hualamphong, Bangkok, kali pertama saya berkenalan dengan ‘asinan’ Thailand. Lupa saya tanyakan nama aslinya. Yang jelas, berbumbu masam dan puedas, diikuti irisan kubis, ketimun, dan kacang mentah. Oya, ada semacam seafood di situ. Satu mangkok harganya 35 bath. Begitu masamnya, hingga hanya kubis, mentimun, dan kacang saja yang bisa saya telan. Kapok! Toh saya sudah mencicipi makanan lokal.
Sampai di Ayutthaya, saya mirip kena sihir. Kota lamanya penuh reruntuhan candi. Sejauh mata memandang hanya candi-candi tua yang gemerlap keemasan saat ditimpa cahaya. Berlomba saya dengan para monk (bhiksu) menjemput matahari di pagi hari. Saya menuju reruntuhan candi, bhiksu-bhiksu menuju pasar, mengumpulkan sedekah. Sekali saya ikuti bhiksu ke pasar. Ternyata jajanan ala pasar, wow.. banyak yang vegie. Makanan termahal adalah nasi goreng seafood, 50 bath harganya. Melimpah benar porsinya, bisa buat dua kali makan. Tapi di Ayutthaya susah dapat nasi, adanya ketan. Di siang hari, es sirop merah seharga 10 bath jadi penawar dahaga dan terik udara.
Beruntung saya tinggal dalam sebuah keluarga di Desa Pang Term, utara Chiang Mai. Setiap hari saya disuguhi menu rumahan. Nasi ketan, sayur dan aneka hidangan yang kental aroma khalenka. Khalenka itu semacam empon2, bentuknya putih, baunya antara lengkuas, jahe, dan entahlah. Abon ikan tuna yang saya bawa pun disulap Pinan Tea, ibu keluarga, menjadi makanan sedap beraroma khalenka.
Pinan Tea sempat membuat penganan mirip bakwan. Bahannya ketela oranye yang diiris tipis-tipis. Bakwan berasa manis. Tapi jangan coba-coba mengambil asinan (atau acar?) buatan dia. Rasanya nano-nano, nggak karuan. Ada masam, pedas, dan entahlah. Shock saya mencobanya, hehe…
Dari Chiang Mai saya menuju Arayaprathet, perbatasan sebelum ke Kamboja. Di sini kental masakan Vietnam di beberapa rumah makan. Saya coba lumpia sayur yang vegetarian dengan bumbu kacang manis pedas. Saya suka, kecuali harganya. Lima lumpia berharga 50 bath. Saus kacangnya terlalu sedikit pula. Padahal, yang bikin marem itu saus kacangnya. Huh..!
*****

Surga bagi pelancong kere macam saya ternyata ada di Siem Reap. Murah harga penginapan (nemu yang 4 dolar sudah termasuk sarapan, dan bukan dormitory), murah pula jajanan pasarnya. Pernah diduduki Prancis membuat orang Siem Reap piawai membuat baguette. Rotinya enak, empuk pula, dan krenyes kalau digigit. Baguette isi sayur dan mayonese hanya 1500 riel sepotong (sebagai gambaran, 1 dolar US saetara dengan 4400 riel). Kawan saya yang bekerja di lembaga bahasa Prancis pun jadi keranjingan baguette.
Ada lagi semacam juadah tapi isi sayuran. Dari ketan kulitnya, dimakan dengan saus kacang manis pedas. Harganya juga 1500 riel sepotong. Mulanya kawan saya agak ‘jijik’. Tapi begitu tahu rasanya, jadi keranjingan. Saya sih makan apa saja. Termasuk membeli telur rebus malam-malam, karena kasihan pedagangnya yang berjalan di rintik hujan. Mulanya heran juga, kok bumbunya banyak sangat. Ada lada, semacam daun kemangi, dan lainnya. Ternyata itu orok bebek. Enak juga sih, meski serasa jadi kanibal. Hihi…
Makanan termahal di Siem Reap justru di restoran dalam kompleks Angkor Wat. Sepiring nasi goreng yang porsinya besar (bisa dimakan dua orang), harganya hampir 5 dolar. Sekali-sekali bolehlah, apalagi di saat perut melilit. Selain nasi goreng, sayur campur aduknya enak juga. Entah apa yang jadi bahannya, tapi rasanya.. amboi!
Central Market di Pnom Penh pun menyediakan makanan murah meriah. Mulai mie goreng vegie, rebusan seafood yang luar biasa pedasnya (saya incipi kuahnya saja, kata tabib saya, sementara hindari seafood), dan jajanan mirip nagasari yang di atasnya disiram saus ala santan. Mengenyangkan. Seporsi 3000 riel. Tapi baguette jalanan Pnom Penh tak sesedap baguette di Siem Reap.
*****

Di Yala yang terik dan dipenuhi serdadu Thailand itu, saya menemukan bakso ikan. Kota yang kerap dilanda bom ini ternyata kaya akan makanan enak. Rumah makan Cina dan muslim berkelompok sepanjang lorong kota. Bakso ikan ini dicampur taoge, tofu, dan mie kuning. Seporsinya 35 bath. Sayang saya tak mencicipi dadar telur isi nasi goreng. Perut terlanjur penuh.
*****

Masuk kembali ke Malaysia via Sungai Kolok-Rantau Panjang, mata saya langsung nanar memandang krupuk lekor. Kata kawan, apa bedanya lekor dengan amplang atau krupuk ikan buatan Indonesia. Saya jawab, lekor khas. Ya bentuknya, ya harganya yang merakyat. Dijual ala pisang goreng, pula. Lima ekor lekor seharga seringgit plus saus ala empek-empek itu. Mana ada yang begini di Indonesia? Hehe.. (kecuali mungkin krupuk upil plus sambel petis).

Di Port Dickson, kota pelabuhan yang masuk wilayah Negeri Sembilan, saya jumpai penjual rojak pinggir jalan. Yang dimaksud rojak di sini mirip gado-gado kuahnya. Hanya, isinya mentimun yang dirajang panjang-panjang, telur ayam rebus, tahu macam batagor, dan mie. Satu porsi harganya antara 3-3,5 ringgit. Gandengan minumnya, es cendol seharga 2 ringgit semangkok.
Ada lagi es campur berujung es krim yang sedap rasanya. Bisa ditemui di manapun, termasuk Melaka, Penang, atau Kuala Lumpur. Lupa namanya. Harga semangkok 3 ringgit.
Wah, masih banyak lagi yang ingin saya ceritakan pasal makanan jalanan (maksud saya makanan yang saya temukan sepanjang perjalanan). Sayangnya, waktu tak banyak. Apakah makan makanan jalanan bikin mencret? Tergantung orangnya. Buat saya yang biasa hidup di pedalaman, tak ada efek sampingannya, kecuali kenyang dan mengantuk. Biasalah, masih mengandung darah Jawa (jalinan wong angin-anginan). Apapun itu, semoga kenyang membaca tulisan ‘nggladrah’ ini.



Makanan Jalanan Tiga Negara
BACA FULL»

Ruang Suci Bagi Kaum Waria

Up 0 komentar
Demikianlah, menggali hal-hal terbaik di dalam diri,

yang cepat atau lambat akan menjadi jalan pulang bagi hidupnya.

Dan saya hanya meminjamkan telinga dan hati, bukan Kitab Suci.

AKTIVITAS atau kehidupan keagamaan kaum waria adalah fenomena yang masih baru bagi sebagian besar dari kita. Dapat dimengerti bila aktivitas keagamaannya, terlebih lagi makna aktivitas itu bagi mereka belum banyak dipahami. Persepsi buruk terhadap waria, tampaknya menjadikan kehidupan keagamaan yang dipandang penting sepanjang sejarah umat manusia itu luput dari perhatian. Berpikir tentang adanya kemungkinan bahwa waria juga membutuhkan dan menjalankan agamanya, agaknya jarang terlintas dalam alam pikiran kebanyakan orang.

Tertarik dengan adanya komunitas dan aktivitas keagamaan kaum waria, pertengahan 2009 saya melakukan penelitian kualitatif-fenomenologis. Bolak balik Jogja-Surabaya, dan selama hampir 3 bulan saya berbincang intensif dengan mereka, yang sungguh memberi pelajaran, bukan saja bagaimana menjadi peneliti tapi sekaligus juga manusia. Dan sebagai hasil penelitian, tulisan ini tidak hanya sekedar mengungkap sisi lain dari kehidupan waria, tapi yang lebih dalam dari itu: memahami apa dan bagaimana makna agama dalam perspektif hidup mereka.
Pengajian Waria
Di Indonesia, setidaknya ada dua komunitas keagamaan waria yang sudah mapan, yaitu Pengajian Waria Al-Ikhlas Surabaya, tempat dimana saya melakukan penelitian dan Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Yogyakarta. Pengajian Waria Al-Ikhlas Surabaya yang dibentuk pada tahun 2004, selain secara rutin mengadakan pengajian juga membentuk group musik Islami, yang mereka namai Hadrah Al-Banjari Waria Al-Ikhlas. Berbeda dengan komunitas lain yang kebanyakan masih berpakaian wanita saat beribadah, waria pada pengajian Al-Ikhlas sudah bepakaian layaknya laki-laki. Beberapa anggotanya bahkan telah menunaikan ibadah haji. Adapun Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Yogyakarta, dibentuk tahun 2008, diikuti tidak hanya waria tapi juga lesbian dan gay. Di tempat ini, mereka mengikuti pengajian, dzikir, shalat berjamaah, belajar membaca Al-Qur’an dan juga shalat.


Dimensi Batin-Spiritualitas 
Aktivitas keagamaan para waria itu tidak hanya bermakna sebagai sesuatu yang positif, tapi yang lebih mendalam dari itu adalah bahwa para waria telah memasuki dimensi batin atau spiritualitas manusia, yakni agama. Kenyataan itu tampak berseberangan dengan persepsi buruk di masyarakat bahwa waria adalah individu abnormal, tidak dapat dibenarkan, dosa, identik dengan pelacuran, seks bebas, penyimpangan seks, penyakit kotor dan menyalahi kodrat. Menarik, bahwa di tengah kerumitan-kerumitan itu, sejumlah waria tetap berusaha belajar dan menjalankan ajaran agamanya.

Aktivitas keagamaan waria, baik dalam suatu komunitas atau dalam bentuk peribadatan yang bersifat personal-pribadi, bagaimanapun juga tidak cukup dipahami secara sederhana bahwa sudah sewajarnya bila individu yang menganut suatu agama menjalankan agamannya. Beragama atau menjalankan ajaran agama itu sendiri tentu bukan merupakan persoalan, tetapi harus segera dipahami bahwa waria memiliki persepsi fisik dan psikologis yang unik dan khas, yang membedakannya dengan individu pada umumnya, terlebih bahwa hal itu berbenturan dengan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakat.


Terjebak dalam Tubuh Pria
Literatur menjelaskan bahwa waria termasuk dalam gender identity disorder atau suatu keadaan ketika seseorang merasa peran jenis dan jenis kelaminnya tidak sesuai dengan perasaannya, baik secara fisik maupun mental (Durand dan Barlow, 2003). Secara individual, munculnya perilaku waria tidak lepas dari suatu proses atau dorongan yang kuat bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal itu menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Waria mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dari laki-laki normal, tapi bukan sebagai wanita yang normal pula. Masalah yang dihadapi waria tidak hanya menyangkut moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar tapi juga dorongan seksual yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran (Kartono, 1989). Masyarakat juga masih menganggap waria dalam satu bingkai kultural yang identik dengan pelacuran, seks bebas, penyakit kotor atau pelaku seksual menyimpang (Koeswinarno, 2004).
Persoalan itu memberi gambaran bahwa waria, baik sebagai individu maupun makhluk sosial berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan sarat persoalan. Sebagai pribadi, waria dapat dikatakan terjebak dalam tubuh yang tidak sesuai dengan jiwanya. Sebagai makhluk sosial, kehadirannya tidak sepenuhnya diterima masyarakat. Dan sebagai makhluk religius, dipandang menyalahi kodrat atau ketentuan Tuhan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, hal itu menjadi semakin jelas dengan adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pengharaman waria. Dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), waria adalah pria, namun bertingkah laku dengan sengaja seperti wanita. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diusahakan untuk dikembalikan pada kodratnya.

Pandangan buruk mengenai waria tersebut, menjadi sesuatu yang membingungkan dan tampak kontradiktif, ketika dalam faktanya, sejumlah waria justru menunjukkan perilaku yang sebaliknya. Mereka tampil di masyarakat sebagai individu atau komunitas yang memperhatikan dan mempraktekkan agamanya. Secara personal hal itu sangat berdasar, karena bertuhan atau beragama, tidak hanya dapat dimengerti sebagai pilihan, tetapi juga bersifat bawaan atau naluriah.

Ramachandran (dalam Pasiak, 2002) menjelaskan bahwa terdapat lokus bagi spiritual atau Tuhan di dalam otak yang kemudian disebut God Spot pada lobus temporal. Melalui suatu pengujian diketahui bahwa terjadi peningkatan aktivitas pada daerah tersebut ketika manusia normal diberi nasehat religius. Atau dengan kata lain, terdapat suatu jalur khusus syaraf yang berhubungan dengan agama dan pengalaman religius. Naluri bertuhan tidak hanya bersifat konseptual normatif, tapi juga teknis-konkret. Manusia tidak hanya diberi software berupa ajaran agama tapi juga hardware, dalam hal ini lobus temporal otak. Dalam perspektif Islam sendiri, kecenderungan untuk beragama merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, bawaan atau naluri yang telah ditetapkan Tuhan di dalam diri manusia (Muthahhari, 2007; Madjid, 2001; Qardhawi, 1999).

Tidak mudah untuk menjelaskan bagaimana yang suci atau sakral (agama dan aktivitas keagamaan) tampak dapat berjalan beriringan dengan keberadaan yang dianggap kotor (rasa identitas dan perilaku waria). Tidak mudah pula untuk memahami bagaimana seseorang dapat membutuhkan dan terlibat aktif dalam sistem kepercayaan atau agama yang sekaligus menjadi penentang utamanya. Jadi pertanyaan kita adalah: apa makna agama dalam perspektif hidup waria, dan bagaimana mereka memposisikan diri, antara identitas waria di satu sisi dengan pengharaman agama atas waria di sisi yang lain?


Ruang Suci Kaum Waria
Proses panjang penelitian membawa saya pada temuan-temuan yang menarik, dan barangkali mengejutkan. Pertama-tama, agama mengingatkan waria tentang dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran mengenai konsep benar-salah (moral-normatif). Lebih dari sekedar menyadari tentang dosa-dosanya, hal itu juga disertai kehendak untuk memperbaiki diri agar sejalan dengan ajaran agama. Dalam arti yang lebih luas, nilai-nilai dan ajaran agama juga memberi suatu pedoman atau dasar pertimbangan dalam bertindak. Hal itu membawa waria pada suatu kesadaran untuk tidak secara bebas memperturutkan keinginan atau hawa nafsunya. Di balik hal-hal buruk yang mungkin diperbuat, terdapat agama yang sangat ingin dipatuhinya.

Selain mengingatkan tentang dosa dan sebagai dasar pertimbangan dalam bertindak, agama juga menyadarkan mereka tentang fakta kematian. Dalam hal ini, agama memberi semacam kesiapan dan bekal, tidak hanya untuk menghadapi kematian tapi juga kehidupan setelah mati. Disini, kematian benar-benar dipahami sebagai awal dan bukan akhir dari segalanya. Agama juga dapat memberi arti dan ketentraman bagi diri dan kehidupan mereka. Dalam hal ini, kedekatan dengan agama memberi keluasan perspektif, ruang yang bersifat meditatif, pelepasan, penyerahan, ketundukkan dan mengurangi perasaan besalah. Hal itu memberi arti bagi diri dan kehidupan, menimbulkan perasaan tentram dan rasa syukur yang mendalam.
Mereka juga tidak sekedar mempercayai sepenuhnya tentang keberadaan Tuhan, tapi juga melakukan bentuk-bentuk penyembahan, kepatuhan, dan ketundukkan, seperti shalat dan dzikir (mengingat Allah). Lebih dalam dari sekedar percaya dan mengekspresikannya, mereka juga merasakan bahwa Tuhan benar-benar ada dan hadir dalam kehidupan mereka. Ketiga hal itu, yakni percaya kepada Tuhan, mewujudkan kepercayaan dan merasakan keberadaan Tuhan, terutama muncul pada masa-masa sulit. Ada suatu harapan mendapat petunjuk, jalan keluar dari suatu masalah di luar jangkauan rasionalitasnya. Saat tidak seorangpun dapat menolong atau bahkan mencibir, mereka merasa masih memiliki tempat untuk mengadu, dalam shalat dan juga dzikir yang dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan beban hidupnya. Dalam hal ini, keyakinan kepada Tuhan, benar-benar mendiami dan memainkan peran dalam ranah batin-psikologis mereka.

Pada dasarnya mereka mengakui, menyadari benar bahwa identitasnya tidak dapat dibenarkan dalam agama, namun menyangkut pengharaman tidak selalu dapat diterima. Ada diantara mereka yang setuju, dan ada pula yang menolak pengharaman waria. Namun, ketidaksetujuan mereka lebih merupakan reaksi terhadap ulama yang dianggap mengadili, memaksa dan tidak memahami, ketimbang persoalan substansi dari fatwa itu sendiri. Pada prinsipnya, waria mengakui identitasnya tidak dapat dibenarkan, tapi untuk menjadi seorang laki-laki adalah perintah yang tidak dapat dipenuhi. Dalam hal ini, disatu sisi mereka tetap menjalani hidup sebagai seorang waria, dengan penampilan, rasa identitas, dan orientasi seksnya, dan di sisi lain tetap menjalankan agamanya, seperti pengajian, dzikir, ataupun shalat, dalam konteks dirinya sebagai laki-laki.

Sejauh ini, mereka merasa cukup nyaman mengambil posisi itu dan sebagaimana yang tampak dalam keseharian mereka, hal itu dapat berjalan secara beriringan. Mereka menjalankan ibadah sebagai seorang laki-laki, dan menjalani hari-harinya sebagai waria. Hal itu menunjukkan bahwa keberagamaan adalah satu hal, dan identitas waria adalah hal lain, yang meskipun keduanya bersinggungan, tetapi yang satu (identitas waria) tidak dapat menghilangkan yang lain (insting religius). Artinya, dalam konteks diri dan kehidupan mereka, hal itu dapat berjalan secara beriringan. Atau dengan kata lain, keduanya (waria dan insting religius) dapat berdiri sendiri, sebagai suatu dorongan yang sama-sama membutuhkan penyaluruan.

Sehubungan dengan persoalan itu, ada dua hal dalam diri mereka yang dapat dibedakan, yakni sebagai waria dan sebagai makhluk religius. Sebagai seorang waria mereka berpotensi untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan norma agama atau etika yang berlaku umum di masyarakat. Hal itu terkait dengan persoalan rasa identitas mereka yang bersifat menetap dan butuh penyaluran, baik dari segi penampilan, perilaku dan orientasi seks. Sebaliknya, sebagai makhluk religius, mereka memiliki potensi untuk melakukan banyak hal, sejalan dengan tata nilai, norma, atau etika keagamaan. Hal itu terkait dengan religious instink, yaitu naluri untuk meyakini dan mengadakan penyembahan kapada suatu Kekuatan di luar dirinya (Tuhan). Naluri tersebut mendorong mereka untuk melakukan aktivitas-aktivitas religius. Waria dan insting religius, sekali lagi, dapat berjalan secara beriringan, sebagai suatu dorongan yang masing-masing membutuhkan penyaluran.

Dari sinilah menjadi mudah untuk dimengerti, bila mereka dapat menjadi seorang waria sekaligus individu yang memperhatikan dan mempraktekkan agamanya. Tidak mengherankan bila terdapat seorang waria yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, sangat memperhatikan ibadahnya atau menjalankan ibadah haji. Inti dari semua ini adalah bahwa kecil kemungkinannya bagi mereka untuk dapat menjalani hidup sebagaimana laki-laki pada umunya, namun hal itu tidak menghentikan atau menjadi suatu penghambat bagi mereka untuk mendekat dan mengakrabkan diri dengan kehidupan keagamaan.

Adapun masalah rasa identitas sebagai waria di satu sisi, dan pengharaman agama atas identitas waria di sisi yang lain, mereka memiliki jalan keluarnya sendiri, yaitu tetap menjalani hidup sebagai seorang waria dan menyerahkan nasib identitasnya kepada Tuhan. Rasa identitas waria sudah mengakar dalam diri mereka, dan sangat sulit dan bahkan tidak dapat dilepaskan. Desakan keluarga, masyarakat dan ulama dengan fatwanya, sejauh ini tidak dapat membuat mereka kembali pada rasa identitas jenis kelamin yang dianggap sebagai kodratnya, yakni seorang laki-laki. Pun demikian, menjadi seorang waria tidak menghilangkan atau menghalangi naluri religius dalam diri mereka untuk tumbuh dalam berbagai dimensinya. Inilah yang mendasari, mengapa mereka dapat tetap menjadi seorang waria disatu sisi, dan menjalankan agamanya disisi yang lain.

Sebagai suatu keputusan duniawi, menjadi waria sekaligus menjalankan agamanya itu dipandang mencukupi, tapi sebagai keputusan akhir, mereka memandang perlu untuk kembali mengambil sikap yang lebih jelas dan tegas. Pada saat meninggal dunia, mereka ingin diperlakukan, dikuburkan, dan menghadap Tuhan sebagai seorang laki-laki. Akhirnya, kepada agama atau Tuhan yang paling personal, mereka menyerahkan keseluruhan diri dan kehidupannya, termasuk melepas rasa identitasnya sebagai seorang waria. Kesimpulan dari semua ini adalah bahwa sejauh apapun waria dalam penelitian ini masuk dalam dunia atau kultur waria yang terlarang, mereka tetap memandang bahwa agama bermakna atau mengandung arti penting bagi kehidupan mereka. Lebih dari sekedar menanggap penting, mereka juga mempraktekkannya, menghayatinya.


Dan Beginilah Sebaiknya Kita Bersikap
Agama telah disuguhkan dalam kehidupan waria sebagai musuh, dan dalam batas-batas tertentu waria menentangnya. Namun, pada sisi yang paling personal, waria tetap menjadikan agama sebagai pedoman, dasar pertimbangan dan menjadikannya sebagai tempat untuk kembali. Akhirnya, sebagai pribadi, seorang waria tentu memiliki sisi positif yang tidak sekedar pantas, tapi juga harus dipandang secara obyektif, diakui dan dihargai sebagaimana penghargaan terhadap manusia pada umumnya.

Dalam pandangan saya, bila identitas gender atau seksualitas waria selalu dijadikan tolok ukur untuk membangun persepsi bahwa waria pada dasarnya menyimpang, dosa dan akan tetap dalam kondisi demikian, maka menjadi penting untuk direnungkan bahwa secara tanpa sadar, individu, kelompok atau masyarakat telah tidak memberi kesempatan kepada waria untuk menggali hal-hal terbaik dalam diri dan kehidupan mereka. Dalam hal ini, masyarakat justru terlibat dalam suatu keburukan yang ditentangnya sendiri, yaitu melalui pencitraan buruk terhadap waria. Setiap individu dalam masyarakat, hendaknya dapat lebih memahami realitas dan tidak hanya sekedar mendasarkan pada persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan. Bila jarak antara persepsi dan realitas terlalu lebar, tidak berkesinambungan atau bahkan terputus, maka waria akan tereduksi, dari seorang pribadi menjadi hanya sekedar persoalan jenis kelamin dan seksualitas. Dan hal itu sungguh bertentangan dengan konsepsi agama dan ilmu pengetahuan.



Source
Ruang Suci Bagi Kaum Waria
BACA FULL»