Pembelokan Sejarah yang Tercecer

Genjer-genjer, bagi teman-teman yang pernah merasakan hidup di jaman Orde Baru dan menonton film pengkhianatan G30S/PKI pasti akan sangat mengenalnya. Film tersebut adalah film wajib yang harus diputar di setiap malam 30 September hingga menjelang masa reformasi. Kenapa lagu ini berkaitan dengan Film itu, tak lain di salah satu bagian film “propaganda” itu kita akan menemukan penggalan kisah pembantaian para Jendral. “Konon“ saat peristiwa tersebut berlangsung, anggota Gerwani selaku Ormas underbow PKI menyanyikan lagu ini untuk mengiringi “prosesi” penyiksaan ke-tujuh Jendral AD hingga meninggal.


Mereka yang di film tersebut oleh anggota PKI selalu disebut sebagai anggota Dewan Jendral yakni sekumpulan Jendral AD yang berniat mengkudeta kekuasaan presiden Soekarno. Satu per satu para Jendral yang ditawan di Lubang Buaya disiksa oleh petinggi partai dan pimpinan ormas underbownya. Sementara di halaman rumah yang digunakan sebagai tempat penyiksaan, anggota dan simpatisan PKI menari sambil diiringi alunan suara ibu-ibu Gerwani yang menyanyikan lagu Genjer-genjer yang telah “diplesetkan” syairnya menjadi seperti di bawah ini.

Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli

Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni lan dipulosoro
Emake Gerwani teko kabeh melu ngersoyo
Jendral-jendral maju terus dipateni


Sebelum berpanjang lebar membahas masalah lagu ini, mari kita sama-sama mempelajari sejarah penciptaan lagu Genjer-genjer.

** Sejarah Lagu Genjer-genjer **

Lagu “Genjer-genjer” diciptakan oleh seorang seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief. Menurut beberapa orang tokoh pegiat seni dan budaya Banyuwangi yang juga merupakan teman seangkatan almarhum Muhammad Arief, lagu ini diciptakan sebagai gambaran keadaan masyarakat Banyuwangi pada zaman pendudukan Jepang. Saat itu Banyuwangi, yang sedari jaman kerajaan Majapahit terkenal sebagai salah satu lumbung pangan di pulau Jawa tak pernah mengalami paceklik / kekurangan pangan. Hasil bumi yang melimpah dari tanah Blambangan (Banyuwangi-Red, asal kata Blambangan adalah Balumbung, yang artinya lumpung pangan. Blambangan dulu meliputi 5 kabupaten di Jawa Timur saat ini, yakni Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi) selalu mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya, bahkan hampir tiap masa panen selalu dikirim dan dipasarkan ke daerah lain. Keadaan itu berubah sejak kedatangan Jepang di Bumi Blambangan.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak warga Banyuwangi yang sedang memasuki usia produktif terutama kaum pria-nya ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja paksa/Romusha. Mereka di kirim ke seantero Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos). Mereka dipekerjakan di kamp-kamp militer Jepang yang sedang berperang dengan Sekutu. Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di Banyuwangi terbengkalai dan tak terurus. Hasil panen yang melimpah turun drastis. Jangankan untuk dikirim ke luar daerah, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Banyuwangi saja tidak mencukupi. Banyak warga yang mengalami kelaparan dan meninggal dunia.


Muhammad Arief yang saat peristiwa itu tidak ikut ditangkap oleh pihak Jepang menciptakan lagu Genjer-genjer karena terinspirasi dari masakan sang istri, Sayekti. Karena ketiadaan sayur mayur dan ikan, Sayekti mengolah tanaman Genjer untuk sayuran. Olahan Genjer yang biasanya dimasak oseng-oseng / tumis ternyata menggugah selera makan M. Arief. Masakan itu terasa enak dan sejak saat itu begitu disukainya dan juga warga sekitar.

Genjer adalah sejenis gulma yang biasa hidup di antara tanaman padi di sawah. Awalnya genjer yang dalam bahasa latinnya disebut Limnocharis flava oleh masyarakat Banyuwangi hanya digunakan untuk makanan ayam, itik ataupun babi. Karena kejadian itulah, maka M Arief menciptakan lagu Genjer-genjer, yang menurut H Adang CY dan Hasnan Singodimayan sebagai bentuk sindiran pada penjajah Jepang. Di beberapa situs yang sempat saya kunjungi untuk mencari referensi, lagu ini diciptkan sekitar tahun 1942/1943. Haji Adang CY dan Hasnan Singodimayan sendiri adalah teman seangkatan M Arief.

Masih menurut kedua karib Almarhum tersebut, lagu Genjer-genjer diciptakan juga karena terilhami lagu mainan yang saat itu sudah melegenda di Banyuwangi. Lagu yang dimaksudkan mereka berdua berjudul “Tong ala gentong ali-ali moto ijo“. Dan oleh M Arief dikasih syair yang diperbarui hingga jadilah lagu Genjer-genjer yang kontroversial itu. Berikut syair asli lagu Genjer-genjer berdasarkan buku catatan M Arief yang ditunjukkan Sinar Syamsi, putra tunggal Almarhum.

Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Ema’e jebeng podo tuku gowo welasar
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Terjemahannya :

Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
Dapat sebakul dipilih yang muda-muda
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu saya beli genjer dimasukkan dalam tas
Genjer-genjer sekarang akan dimasak


** Kenapa Lagu Genjer-genjer Identik dengan PKI? **

Lagu Genjer-genjer, yang awalnya hanya dinyanyikan masyarakat Banyuwangi dan mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960-an awal. Pada kisaran tahun tersebut, lagu Genjer-genjer dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Dan setelah dinyanyikan oleh mereka berdua, lagu itu semakin terkenal.

Di salah satu situs (Detik Forum) disebutkan kenapa lagu ini sempat dikaitkan dengan PKI. Hal itu tak lepas dari andil salah satu petinggi PKI yang juga petinggi LEKRA (LEmbaga Kesenian RAkyat -Underbow PKI) bernama Njoto. Tahun 1962, Njoto yang sedang dalam perjalanan menuju Bali mampir dan singgah di Banyuwangi. Saat itulah lagu “Genjer-genjer” oleh seniman Banyuwangi ditampilkan untuk menghiburnya. Njoto yang memang bernaluri seni cukup baik segera mencium gelagat jika lagu itu akan menjadi booming di jamannya. Dan benar, tak lama setelah itu lagu itu seakan menjadi lagu wajib bagi TVRI dan RRI yang semakin rajin menyiarkannya.

Selepas kunjungan Njoto di tahun 1962 itu, hubungan antara aktifis LEKRA dan seniman Banyuwangi semakin mesra. Njoto meminta M Arief untuk membuatkan beberapa lagu yang bernafaskan PKI antara lain lagu Ganefo, 1 Mei, Mars Lekra, Harian Rakyat dan proklamasi. Sebagai mantan tentara dan pegiat Seni, M. Arief akhirnya diberi jabatan sebagai anggota DPRD Banyuwangi mewakili PKI.

Selepas tragedi 30 September 1965, menurut Sinar Syamsi (putra M Arief) yang saat itu berusia 11 tahun terjadi demo besar-besaran di Alun-Alun banyuwangi. Demo itu digawangi berbagai ormas menuntut pembubaran PKI dan pengadilan terhadap para aktifisnya. M Arief yang merasa terancam akhirnya melarikan diri hingga akhirnya tertangkap oleh CPM di Malang.

Peristiwa itu bisa jadi ada, selain karena M Arief aktif dalam berbagai kegiatan PKI, juga karena selepas tragedi berdarah itu beredar syair gubahan lagu Genjer-genjer yang beredar. Syair yang beredar itu seperti cuplikan syar di awal artikel ini. Sejak penangkapan itu, kabar berita tentang Muhammad Arief yang awalnya bernama Syamsul Muarif hilang bagai ditelan bumi. Hingga kini kabar keberadaan beliau tak pernah terungkap. Jika masih hidup ada di mana dan jika sudah meninggal, di mana pusaranya pun tak pernah tahu.

Jika keberadaan M Arief tak pernah terungkap. Sementara Sayekti selaku istri dan salah satu yang menginspirasi terciptanya lagu tersebut memilih tetap tinggal di Banyuwangi. Karena stigma negatif keluarga PKI, Sayekti sempat mengalami stress. Sayekti akhirnya meninggal dunia 26 januari 2007 lalu.

Karena stigma itu pula, Sinar Syamsi sempat menimbang kemungkinan untuk beralih kewarganegaraan. Menurut pria yang sempat beberapa kali di-PHK dengan alasan tak jelas, saat ini ada dua negara yang jadi pertimbangannya yakni Belanda dan China. Dia berharap, jika jadi pindah kewarganegaraan, dirinya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan terlepas dari stigma negatif tragedi kelam itu.



** Kesimpulan **

Jika menilik dari berbagai rujukan yang ada, sebenarnya lagu Genjer-genjer tidak ada kaitannya dengan PKI. Lagu itu diciptakan sebelum bangsa ini merdeka. Meski saat penjajahan Jepang, PKI juga sudah eksis di Indonesia, namun di sejumlah situs yang pernah saya kunjungi dan penuturan sahabat karib almarhum, bisa disimpulkan jika beliau baru terlihat aktif di PKI dan LEKRA selaku organisasi underbow PKI di kisaran tahun 1960-an.

Mengenai “gubahan” lagu Genjer-genjer versi GERWANI yang saya tampilkan di awal artikel ini, ada sebuah postingan menarik di detik forum. Di salah satu paragraf disebutkan bahwa yang pertama kali memplesetkan syair lagu Genjer-genjer adalah “harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)”. Hal ini diperkuat dengan catatan harian seorang Hasan / Hasnan Singodimayan, kawan karib almarhum yang juga aktifis HSBI (Himpunan Seni dan Budaya Islam – Underbow partai Masyumi).

Sebagai bagian akhir dari artikel ini, penulis menghimbau teman-teman yang membaca artikel ini, mari kita sudahi kontroversi lagu Genjer-genjer. Bagaimanapun lagu ini tidak salah dan tidak ada kaitannya dengan PKI. Lagu ini hanyalah sebuah karya seni adiluhung yang diciptakan melalui proses perenungan yang dalam melihat kesengsaraan rakyat Indonesia (umumnya) dan masyarakat Banyuwangi (khususnya), yang pada masa itu dijajah Jepang. Lagu ini sebagai salah satu bentuk perlawanan. Jika tentara melawan agresor dengan senapan di tangan, Wartawan dengan penanya. Pun dengan seniman, dia melawan dengan karya seni yang dihasilkan.

Yang salah dalam kasus lagu Genjer-genjer bukanlah lagunya, tapi hanya penciptanya. Seumpama keluarga, lagu Genjer-genjer adalah anak yang terlahir dari orang tua yang distigmakan negatif. Seperti halnya seorang anak penjahat, jika dia boleh memilih pasti akan memilih terlahir dari kedua orang tua yang baik-baik. Begitupun produk seni, meski pada akhirnya menjadi alat propaganda, penulis yakin itu hanyalah ulah oknum yang pandai memanfaatkan keadaan.

“Seni adalah Seni. Stop menyebarkan propaganda dan kebencian politik melalui media seni. “



Denpasar.01102012.000

Masopu



Note:

Mungkur Sedhot = berpaling begitu saja

Diuntingi = Diikat memakai media rumput ilalang atau tali yang terbuat dari irisan bambu tipis

Jebeng = Anak gadis

Mbubuti = mencabuti

Diolah berdasar referensi dari beberapa situs dan data dari teman-teman pegiat seni Banyuwangi



Pembelokan Sejarah yang Tercecer
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar